KONSEP PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA
KONSEP PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
Pada
dasarnya sejarah adalah hubungan antarbiografi yang melewati atau menembus
batas waktu. Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Suwardi
Surjaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara ini memiliki
kepribadian yang sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula (rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya lokal
(Jawa) guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial.
Pendidikan
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan dan kemajuan umat
manusia. Kesadaran dan kemampuan seseorang untuk mampu melangsungkan
kehidupannya dan bertahan hidup diperoleh melalui proses pendidikan, mulai dari
pengetahuan, keterampilan, kepandaian hingga kearifan (Wiryopranoto, dkk,
2017).
Bangsa
ini perlu mewarisi buah pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya,
pendidikan bertujuan untuk memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa melihat
perbedaan agama, ras, etnis, suku, bahasa, adat, kebiasaan, status ekonomi,
status sosial serta di dasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Dasar-dasar
pendidikan barat dirasakan Ki Hadjar Dewantara tidak tepat dan tidak sesuai
untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan barat bersifat regering, tucht, order (perintah,
hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan semacam ini dalam praktiknya
merupakan suatu bentuk perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya,
budi pekerti anak-anak menjadi rusak karena selalu hidup dibawah tekanan.
Menurut Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak akan mampu untuk membentuk
seseorang hingga memiliki “kepribadian”. Menurut Ki Hadjar, pendidikan yang
mengena kepada bangsa timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan
kebangsaan.
Menurut
Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak,
dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya (Dewantara,
1962). Dalam artian, supaya kita dapat
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakatnya (Kumalasari, 2010).
Maka
ia menerapkan tiga semoboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia,
yakni : Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang
guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru
dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua,
Ing Madya Mangun Karsa, artinya
seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya
dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang
terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan
karya anak-anak didiknya (Haidar, 2015).
Senada
dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode pendidikan yang dikembangkan,
yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong, Among dan Ngemong, yang
berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak
dalam dunia nilai-nilai. Praksis pendidikan dalam perspektif ini memang
mementingkan ketertiban, tapi pelaksanaannya bertolak dari upaya membangun
kesadara, bukan berdasarkan paksaan yang bersifat hukuman. Praksis pendidikan
berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru sebagai pengasuh yang
matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai kultural yang khas
Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk
bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik,
konatif, kehidupan sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak
menggunakan metode paksaan, tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan
memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Guru boleh
terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada
jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan
pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa
anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh
menurut kodratnya (Dewantara, 1962).
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara,
Ki Hadjar. 1962. Karja I (Pendidikan). Yogyakarta
: Pertjetakan Taman Siswa.
Haidar, Musyafa. 2015. Sang Guru. Yogyakarta : M. Kahfi.
Kumalasari,
Dyah. 2010. Konsep Pemikiran Ki Hadjar
Dewantara dalam Pendidikan Taman Siswa. Jurnal Istoria. 8 (1).
Wiryopranoto,
Suharsono, dkk. 2017. Ki Hadjar Dewantara
“Pemikiran dan Perjuangannya”. Museum Kebangkitan Nasional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar